Monday, January 13, 2014

You Know, That Feeling After An Awesome Gig...

"We've all been to great gigs, but the truly amazing shows change your point of view. 
You could argue the toss between stadium-sized orgasms and sweaty intimate club sessions, 
but in the end what really matters is how it could moved you."


I was watching SORE's live perform video in Sounds From The Corner's YouTube channel when I found those words in the description part. Written by Teguh Wicaksono, and I am totally agree with it.


I've been to some gigs. Mostly local. The small one and the big ones. Not that kind of super gigs like an international music concert (what concert do you expect for Surabaya?) but well at least, thank God, to watch some gigs and dropping my jaw and feeling goosebumps when I watch it is a total pleasure.  

"...what really matters is how it could moved you."


I am moved. Ketika nonton beberapa gig musisi favorit saya main di Surabaya. Ambil contoh Adhitia Sofyan dan Payung Teduh. 


Waktu itu saya nonton Adhitia Sofyan di acara kampus, setengah gerimis, dan saya nonton bareng mas-mas yang masih jadi pacar saya waktu itu. Bayangkan scene manis macam apa yang terjadi ketika itu.

Waktu itu, Adhitia Sofyan main sebelum salah satu band rasta. Yah taulah gimana grupis-grupis band rasta yang harus se-venue dengan anak-anak rapih penggemar jazz. Clash of the groupies. Ketika Adhitia Sofyan perform sempet muncul sorakan minta turun dari grupis sebelah. Dan dibalas dengan kalem oleh mas Adhit, "Ya, saya akan turun nanti kalo sudah waktunya saya turun setelah perform." Hellyeah! 





Terus pas nonton Payung Teduh di salah satu gig di Surabaya. Their first gig in Surabaya and they were like totally amazing. Bawaan karena saya udah lama banget nunggu penampilan mereka mungkin ya, jadi pas pertama kali nonton mereka rasanya girang banget. Apalagi waktu itu nontonnya di paling depan karena sambil motret. Waaaaaaa rasanya kaya lebaran, pemirsaaaaaah :"D



Waktu itu nonton sampe mau nangis rasanya saking terharunya. Lighting yang dramatis plus dengar semua penonton sing along sukses bikin merinding sampe mau mewek waktu itu. Iya, saya tau saya cengeng


Pulang nonton dengan perasaan bahagia, di jalan pas pulang sampe pas besoknya masih terngiang-ngiang dan susah move on.


Di luar itu semua, menurut ke-sotoy-an saya, musisi yang membawakan karyanya dari hati pasti bisa membuat penonton tergerak ketika nonton penampilan mereka. Entah tergerak secara emosional, yang acap kali menghasilkan setitik air mata buat saya, atau tergerak secara pemikiran. Simpelnya, mengubah cara pikir kita.


Saya jadi ngerti, sebegitu bahagianya orang ketika kesampaian nonton musisi idola mereka. Nggak perlu lah bisa ketemu langsung atau foto bareng, nonton penampilan live juga udah cukup bikin bahagia dan ga bisa tidur sepulang nonton saking bahagianya. Sing along sama penonton-penonton sebelah kita waktu lagu favorit dimainin itu luar biasa rasanya. 


Begitu pula ketika liat cara musisi menghadapi grupis artis sebelah. Musik memang murni soal selera, yang bikin istimewa adalah gimana menghormati perbedaan selera. Musisi sebagai sosok yang dikagumi udah seharusnya memberi contoh penghormatan akan perbedaan selera tadi.


Pun ketika saya ke Jogja dateng ke Jazz Traffic. Ternyata acara musik jazz nggak perlu lah diadain di gedung-gedung super luas dan mewah yang bikin kita super necis waktu dateng. Jazz juga bisa diadain di desa secara outdoor dan ditampilkan secara tradisional juga sehingga bisa dinikmati semua kalangan. 


Sejak SMA saya bukan jenis orang yang suka nonton gig, pensi, konser, dan semacamnya. Bukan penikmat musik sejati. Saya cuma dengerin apa yang dihadirkan di tv, radio, dll. Influence saya buat dengerin musik-musik yang aneh-aneh juga ga ada. Friends mostly listened to Top 40s chart on the radio and had no brothers or sisters who listened to somewhat-called death metal or indie music. Nggak mau dan males merepotkan diri cari-cari musik yang saya belum tau atau belum pernah dengar. Bukan kebutuhan saya. Nggak suka. Saya lebih suka menenggelamkan diri di tumpukan novel-novel tebal di kamar dan menambah tebal minus kacamata setiap liburan sekolah berakhir. 

Pekerjaan lah yang membikin saya harus kesana kemari nonton gigs. Kesana kemari pedekate ama anak-anak band indie lokal. Kesana kemari liputan yang oleh beberapa teman nggak disebut liputan. Whatever. You may laugh, but I love my job now. I learn a lot from it.




No comments:

Post a Comment