Thursday, January 16, 2014

It's Strange, The Idea of Growing Up

Saya masih inget beberapa taun lalu di mata kuliah Speaking. Waktu itu kami sekelas diberi kertas-kertas kecil berisi tulisan topik-topik yang harus kami bahas di depan kelas dalam bentuk speech atau pidato. Bukan, bukan pidato politik kaya di tivi-tivi. Pidato yang santai-santai aja, yang penting skill ngomong Inggris nya udah cukup untuk sekedar dapat C dan lulus mata kuliah.

Waktu itu saya dapat topik “Growing Up is a State of Mind.” Menjadi dewasa adalah suatu tingkatan pemikiran.
Mau gak mau, saya setuju dengan topik itu. I was on my early 20s at that time. Have no idea what I’m going to do in my life, all I want to do is study and graduate. That’s it. Love life sucks at that time, I didn’t expect a fairy tale-like love story.

Walaupun nggak ngerti apa-apa, sebenernya saya cukup punya alasan untuk menyetujui hal tersebut. Ketika dewasa adalah sebuah tingkatan pemikiran, berarti mau gak mau, pasti kita akan sampai pada tingkatan itu. Seperti ada tingkatan yang wajib ditempuh untuk menuju sesuatu. Walaupun mungkin perkara waktu, kedewasaan seseorang akan berbeda dengan orang lain di suatu rentang waktu atau usia tertentu. Saat itu, saya percaya semua orang akan menjadi dewasa pada waktunya. Pasti.


Beberapa tahun setelah mata kuliah itu, ketika saya menulis ini, saya sedang duduk di meja kantor, memandang lembar digital Microsoft Word yang kosong karena wifi kantor mati. Windows Media Player saya sedang memutar kencang-kencang lagu baru dari album terbaru Avril Lavigne berjudul Here’s To Never Growing Up.  I currently love the song.

Ketika dengerin lagu itu, tiba-tiba saya jadi kepikiran sesuatu tentang menjadi dewasa. The idea of growing up. Mereka bilang, “It’s strange, the idea of growing up”, atau “Don’t grow up, it’s a trap,” atau “Growing up sucks.” It’s everywhere. Menjadi dewasa sepertinya dibenci banyak orang. Dan beberapa dari mereka yang “berhasil” menjadi dewasa, sepertinya mengalami keterpaksaan yang luar biasa pada awalnya, dan punya keikhlasan yang luar biasa pula untuk terus mencoba menjadi dewasa.

Teringat video yang kemaren dikasih liat sama pacar. 23 Signs You’re A Grown-Up Gamer. Yes, boyfriend is a gamer. Di video itu ditunjukkin beberapa hal yang menurut sang gamer adalah “iya banget”. Membeli game yang bahkan nggak sempet dimaenin, bingung ngatur waktu antara ngegame dan pacaran, dan lain-lain. When you grow up, gaming is an escape from your real life. Real life is your priority. Real life is your real problem.  Your problem is no longer how you can beat the monster at the end of the level. Tapi tetep aja, terpaksa. And the most likely symptom is, complaining. Kalo nggak ada orang dewasa yang complain, video tadi mungkin juga ga akan tercipta.

Ketika menjadi dewasa adalah sesuatu yang cukup berat dilakukan dan kedewasaan adalah sesuatu yang cukup sulit untuk dicapai, beberapa orang memilih untuk menjadi tidak dewasa. Entah malas, entah menjadi kekanakan lebih menyenangkan, saya juga nggak ngerti.

Saya memilih menjadi dewasa dengan cara saya sendiri. Saya tetep nonton kartun, saya masih mengumpulkan action figure karakter kartun favorit saya, dan saya tidak berdandan seperti mbak-mbak kantoran seusia saya.

Dewasa darimana nya?

Saya belajar tanggung jawab. Merawat action figure. Mengatur jadwal kerja, kuliah, main, dan pacaran.

Saya belajar memaklumi sekitar. Ketika orang di kiri kanan saya mengeluh dan mencibir orang lain di sekitar mereka, saya lebih memilih diam dan menganggap setiap orang pasti punya alasan untuk hal seaneh apapun yang ia lakukan.

Saya belajar berani. Berani punya mimpi.

Dan lain-lain.

Saya memilih menjadi orang dewasa yang berjiwa muda.

Disini, saya percaya bahwa menjadi dewasa adalah pilihan. Memilih mau dewasa atau enggak. Pun jika memilih ingin dewasa, ingin memilih menjadi dewasa yang bagaimana, yang seperti apa.

Menjadi dewasa memang menyebalkan. But, it’s a process. It’s always been a process. We can’t resist. Tiba-tiba pola pikir berubah dan kita sibuk menyesuaikan ini itu. Seakan semua orang dipaksa untuk menjadi dewasa. Yang nggak mau dewasa itu lah yang nggak mau berusaha menyesuaikan.

We’re taking it for granted. Kita juga nggak pernah tau tolak ukur seberapa dewasa nya atau seberapa kekanakannya seseorang. Aneh kan? Memang.

Time goes by. A lot of things happened after the class meeting. A lot of things changed, a lot of new people I met, a lot of new things being told and shared, a lot of rubbish being taken, a lot of mistakes being learned.


Growing up is okay, but staying young is better.

1 comment:

  1. yes... setelah membaca ini saya jadi dewasa ( '^')9

    ReplyDelete